Tuesday, 14 May 2013

Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera

Tengku Amir Hamzah
LahirTengku Amir Hamzah


28 Februari 1911

Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur,Hindia Belanda
Meninggal20 Maret 1946 (umur 35)
Kuala Begumit, Binjai
Makam
Mesjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat,Sumatera Timur, Indonesia
PekerjaanPenyair
BahasaIndonesia/Malaysia
KebangsaanIndonesia
Suku bangsaMelayu
Aliran sastraPenyair
TemaCinta, Agama
Karya terkenalBuah Rindu
Nyanyi Sunyi
PasanganTengku Puteri Kamiliah
AnakTengku Tahura

Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Amir Hamzah (1911-1946)

"Amir Hamzah Pangeran dari Seberang".

“Raja telah jatuh, rakyat berkuasa! Raja telah jatuh, rakyat berkuasa!”

“Rakyat menjadi hakim! Hidup rakyat! Musnahkan kaum bangsawan!”

4 Maret 1946, seruan-seruan itu terdengar riuh di Istana Binjai. Kala itu, sekelompok pemuda menyeruak masuk ke halaman istana. Mereka menuntut agar bendera kerajaan yang bersanding dengan bendera merah putih, diturunkan. Lagu “Darah Rakyat” berkumandang. Suara para pemuda itu membahana. Senja koyak.

Tengku Amir Hamzah, Bupati Binjai dari Indonesia yang juga menantu Sultan Langkat sekaligus petinggi negara Langkat, membiarkan barisan “wakil rakyat” merusak ruangan istana kerajaan. Meski terjadi kerusakan, hari itu tidak ada penganiayaan.

Sehari sebelumnya, kerusuhan memang sudah meledak di Langkat. Sejak hari itulah, banyak bangsawan yang ditangkap. Satu per satu dari mereka yang bergelar tengku menghilang. Namun ketegangan memuncak pada 7 Maret 1946 meski versi lain menyebutkan tanggal 4. Amir Hamzah pun pada akhirnya dijemput oleh sekelompok Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

“Tinggallah buah hati Entu (ayah). Baik-baiklah dan jangan nakal!” begitu ucap Amir kepada Si Kuyung kala laskar pemuda menjemputnya.

Sedari kecil, Tahura, anak Amir Hamzah satu-satunya ini, memang menerima panggilan ‘Kuyung’ (sulung) dari sang ayah. Amir pun mengecup kening Tahura sebelum masuk ke dalam mobil yang bergerak cepat menuju markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Sejak saat itu, Tengku Amir Hamzah tak pernah kembali.Sore itu, Amir Hamzah beserta seluruh pembesar kerajaan diculik. Amir dibawa ke berbagai tempat untuk kemudian dipancung oleh Mandor Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Kerajaan Langkat. Akan tetapi, Sultan Mahmud tak turut dibunuh. Ia ditangkap dan diasingkan hingga kemudian wafat karena sakit.
Penculikan dan pembunuhan para pimpinan negara ini membuat suasana mencekam. Revolusi sosial merebak. Ribuan orang eksodus ke berbagai tempat, secara sendiri-sendiri, per keluarga, maupun rombongan. Ada yang ke Kutacane (Aceh), Lau Sigala-gala (Tanah Karo, Kabupaten Aceh Tenggara kini), Medan (Sumatera Utara kini), atau ke tempat-tempat yang dekat, seperti Bahorok.

Tak lama kemudian, 30 Juli 1947, dua buah istana di Tanjung Pura dan satu buah istana di Binjai dihancurkan oleh massa. Istana-istana Kerajaan Langkat rata dengan tanah. Riwayat pun usai. Roboh bersimbah darah. Di pertengahan abad 20, ahli waris Kerajaan Aru itupun tersungkur.

Amir Hamzah termasuk salah satu penyair religius (keagamaan). Ia menulis prosa, baik berupa esai, kritik maupun sketsa.
Ia adalah seorang mahasiswa Fakultas Hukum di Jawa. Aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan dan bersama Sultan Takdir dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru.
Keturunan bangsawan langkat di Sumatra Timur. Ini menghasilkan karya yang tidak sedikit, diantaranya :

- Sekumpulan sajak berjudul Nyanyi Sunyi (1937)
- Buah Rindu (1941)
- Setanggi Timur (1939)
- Dsb
Ciri khas puisi Amir Hamzah :
1. Ia banyak mempergunakan kata-kata lama yang diambilnya dari khasanah bahasa melayu dan kawi.
2. Kata-kata yang dijemputnya dari bahasa daerah, terutama bahasa-bahasa Melayu, Jawa, Sunda.
Isi sajak Amir Hamzah kebanyakan bernada kerinduan, penuh ratap kesedihan. Tetapi isi puisinya tidak hanya menimbulkan kesedihan, rasa sunyi dan pasrah diri tapi ia juga menekankan pada rasional.  

Salah satu sajak Amir Hamzah yang berasal dari kumpulan puisinya, “Buah Rindu” :

Sampaikan rinduku pada adinda
Bisikkan rayuanku pada juita
Liputi lututnya muda kencana
Serupa beta memeluk dia.
Ibu, konon jauh tanah Selindung
Tempat gadis duduk berjuntai
Bonda hajat hati memeluk gunung
apatah daya tangan ta’ sampai.


“Sajak Amir Hamzah tersebut adalah salah satu luapan perasaannya ketika hubungannya dengan kekasih tercinta harus putus di tengah jalan, karena penyair asal Langkat ini dijodohkan dengan putri pamannya.”

Namun “Ku Busu” (panggilan Amir Hamzah di keluarga) bukanlah seorang yang peragu. Meski hidup kerap mengantarnya pada sekian banyak persimpangan, dengan sifat seorang bangsawan, ia selalu tahu bagaimana semestinya berposisi dan mengambil sikap.

Kisah kasih tak sampai antara sang pujangga bangsawan Melayu dan Ilik Sundari, sang dara asal Solo, terpapar lebar.

Pasca-Kelahiran Indonesia

Ketika proklamasi bangsa Indonesia berkumandang, Amir Hamzah, seperti kebanyakan rakyat Sumatera maupun pulau-pulau lainnya, belum mengetahui bahwa Negara Indonesia sudah berdiri. Ketika di Pulau Jawa terjadi kekacauan pada masa-masa peralihan pemerintahan, kehidupan di Langkat hampir tidak berbeda dari hari-hari lain. Sibuknya kepindahan Jepang yang meninggalkan kota juga luput dari perhatian penduduk.

Oleh satu dan lain sebab yang tak diketahui atau memang dirahasiakan, gubernur Indonesia yang berwenang membawahi daerah Langkat baru mengumumkan pendirian Indonesia setelah dua bulan pasca-proklamasi. Dua bulan setelah proklamasi, baru Amir diberitahu adanya surat keputusan Gubernur Negara Republik Indonesia Nomor 5 yang telah menunjuknya sebagai asisten residen atau bupati yang bertanggung jawab atas daerah Langkat dan berkedudukan di Binjai.

Penunjukkan dirinya sebagai bupati membuat Amir berpijak di dua kaki. Di satu sisi, sejak pulang ke Langkat dari negeri Jawa, ia sudah mengemban sejumlah jabatan negara. Ia menjadi Raja Muda atau Pangeran dengan wilayah tugas Langkat Hilir, lalu memimpin Teluk Haru di Pangkalan Brandan, dan kemudian sebagai bendahara Paduka Raja di Binjai. Saat Jepang datang, ia menjadi Ketua Pengadilan Kerapatan Kerajaan Langkat. Di sisi lain, dari Indonesia, ia menjadi Bupati Langkat. Semua jabatan itu memiliki objek wilayah yang sama.

Di masa itu, Amir berusaha memulai pembangunan pertanian, kerajinan rakyat, dan pemberantasan buta huruf. Nh Dini menceritakan bahwa Amir Hamzah begitu bergirah mengerjakan itu semua.

Kehadiran Belanda yang turut bersama sekutu melalui Palang Merah kemudian menimbulkan banyak kekacauan di Jawa. November menjadi bulan penuh api. Hubungan Indonesia-Belanda-Inggris pun kian memburuk ketika Belanda mendaratkan Angkatan Laut Kerajaannya di Tanjung Priok dan menguasai Batavia.

Belawan (Medan, Sumatera Utara kini) juga menjadi pintu terbuka bagi Angkatan Laut Sekutu. Kehadiran tentara sekutu pasca 29 September 1945 di bawah pimpinan Jenderal Christison di Medan membuat Langkat mulai bergolak. Golongan demi golongan bertumbuhan mengukuhi pendapat dan idealisme masing-masing. Titik ini menjadi pangkal tolak ketajaman indra politik beberapa orang.

Jika dahulu Amir Hamzah melakukan pergerakan untuk memandang serentak pada konsep persatuan, kini pertimbangan demi kepentingan golongan dan partai mulai merebak. Rakyat Langkat, utamanya buruh-buruh, yang kebanyakan berasal dari India, Jawa, dan China, yang kebanyakan buta politik, pun mulai dipanas-panasi. Mereka digiring untuk menggugat pemerintahan di kota maupun di pedalaman. Konon, yang paling kuat dan terpandai dalam menggalang penduduk semacam itu adalah pihak yang disebut ‘golongan kiri’ yang berpusat di Jawa.

“Tuhan menjadikan manusia tidak semuanya sama. Sebagai contoh, ialah pepohonan di muka bumi ini, ada yang rendah ada yang tinggi, walaupun usianya sama. Kalaulah semua orang mau disamakan di dunia ini, berlawananlah dengan kodrat Tuhan,” ujar Amir selaku bupati pada suatu rapat yang diadakan di Kebon Lada.

Akan tetapi, pernyataan Amir ini menimbulkan interpretasi sendiri di banyak pihak. Konon, inilah yang membuat dirinya dimasukkan ke dalam “daftar hitam” kelompok pemuda kala itu. Muncul kasak kusuk bahwa Amir pernah turut makan-makan di kapal dengan sekutu.

“Bagaimana pula dia duduk makan bersama musuh… Di waktu dia terpaksa menyuguhi makan seorang pejabat atau perwira musuh, dia selalu menyuruh masak bangkai-bangkai ayam! Katanya, sayang menyembelih ayam sehat untuk dihidangkan kepada musuh. Ah, tidak akan dia sudi datang ke kapal, lalu duduk makan bersama mereka,” bantah Kamaliah.

Menghadapi segala serangan fitnah, Amir tak pernah sekali pun nampak gentar menghadapi nasib buruk yang mengintainya.

“Hanya satu permintaan kanda kepada dinda, Uyah. Apapun yang terjadi dengan kakanda, janganlah adinda kelak mendendam kepada orang-orang tertentu. Karena semua kejadian adalah takdir Tuhan. Jaga dan asuhlah anak kita sebaik-baiknya,” demikian pesan Amir kepada sang istri.

Dalam tarikan lokal (Langkat) dengan supralokal (Indonesia), buku ini menunjukkan bahwa Amir Hamzah secara ajeg berpijak pada Langkat dengan kesadaran dan keberanian penuh. Amir tak pernah membantah sekali pun sumpah setianya pada raja untuk berpihak pada Langkat.

Kesetiaan Amir ini berujung pada suatu subuh di perladangan Kuala Begumit. Peradilan Rimba, demikian istilah orang-orang yang melakukan penghukuman itu, menjatuhkan hukuman pancung pada kemenakan Sultan Langkat itu. Tuduhannya: bersifat feodal dan tunduk pada Sultan.

“Tuan-Tuan janganlah bertanya-tanya lagi, karena saya sedang bersiap-siap akan menghadap Tuhan,” begitulah penyair masyhur ini menuturkan kalimat terakhirnya.

20 Maret 1946, parang algojo Yang Wijaya, orang yang pernah mengabdikan diri di Istana Langkat, pun jatuh ke kuduk Sang Tengku. Dan jasad Amir pun ditumpuk dengan jenazah ke-26 tengku lainnya.

Kedatangan ajal yang secepat itu membuat Amir tidak dapat melihat bagaimana negara yang dicita-citakannya dahulu kemudian bertumbuh menjadi Republik Indonesia Serikat untuk kemudian berubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ia juga tak melihat bahwa kemudian ada daerah yang diistimewakan dan ada yang tidak. Hanya 35 tahun Amir Hamzah menjalani hidupnya. Namun, 35 tahun itu ternyata cukup untuk menggaungkan gema juang yang bertalu dalam setiap hati yang mengenangnya.

Cara Nh. Dini mengisahkan Amir Hamzah sebagai tokoh kunci pada sejarah kelahiran Indonesia ini membuat saya mengamini pendapat Ayu Utami, bahwa membaca buku ini bagai menonton sebuah film. Biografi ini sungguhlah dapat menjadi media penutur sejarah tanding.

Namun, pengungkapan fakta sejarah baru mengenai Revolusi Sosial di Maret 1946 hingga saat ini memang masih tampak sumir. Nh. Dini pun menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia hingga pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga kini tidak mau mengakui sebutan nama ‘revolusi sosial’ yang telah merebut nyawa Amir Hamzah kala itu.

Tak pernah digelar peradilan akan peristiwa berdarah itu. Kemenakan Amir hingga kini pun tidak pernah mau menyebutkan nama siapa para pemuda yang sesungguhnya terlibat dalam kematian Amir.

“Barangkali karena memang dia tidak mengetahui. Ataukah karena para pemuda tersebut kemudian menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan, sehingga pembongkaran cerita akan menyebabkan mereka tergugat?” demikian tanya Nh. Dini dalam buku ini.

Buku ini adalah pelecut upaya menyigi jawaban atas apa yang masih tak terungkap dalam sejarah bangunan fondasi Indonesia yang kelam. Sejarah ketika keluarga kerajaan menjadi sasaran laskar-laskar yang terprovokasi ideologi antarkelas. Inilah wajah ketika akar-akar tercerabut secara paksa. Suatu kala ketika makna noblesse oblige tak lagi menjadi harapan.

Ketokohan Amir Hamzah ini memang mengikat ingat saya pada frase bahasa Perancis, ‘noblesse oblige’. Dalam pemaknaan etimologisnya, frase itu menyuratkan arti bahwa status sosial yang tinggi akan selalu diiringi oleh kewajiban dengan konsekuensi risiko yang tak kalah tinggi. Sejarah telah mencatat, untuk seorang Tengku Amir Hamzah, bangsawan Melayu dari negeri Langkat, konsekuensi itu harus dibayar dengan nyawanya sendiri. Ia difitnah dan dibunuh hanya karena ia adalah seorang Tengku. Dan ia memilih mati karena itu, betapapun ia punya pilihan untuk pergi ke tempat lain seperti Binjai atau Jepang.

Tengku Amir Hamzah, yang menyadari posisinya sebagai bangsawan, telah sekuat-kuatnya berupaya mengabdikan kekuasaannya untuk berpihak pada yang tak berdaya. Ia meresapi, bahwa dengan berkedudukan lebih tinggi, maka tak ada kewajiban lain selain mengabdi pada nadi negeri. Dalam manifestasinya, Amir pun tampil dengan pilihan-pilihan hidup yang berani, bahkan keji, terhadap dirinya sendiri.

Lesatan zaman kekinian pun kemudian seakan mengajak memutar. Dalam sistem yang dahulu menumbangkan apa yang disebut feodalisme, pola kekuasaan sentralisme Indonesia kini justru semakin seru mendenguskan kembali hasrat-hasrat feodalisme. Jabatan-jabatan elitis kini menjadi rebutan. Bapak pejabat, anak pejabat, lingkarannya pun mendapat rezeki berlimpah. Bahkan, pernikahan pangeran Inggris, Pangeran William dan Kate Middleton pada 29 April 2011, yang jelas-jelas termuat dalam definisi feodalisme, oleh televisi-televisi Jakarta yang bersiaran nasional justru turut dirayakan dengan melakukan siaran langsung seharian dan juga pada hari-hari berikutnya. Ada program khusus yang bahkan dibuat hanya untuk memelototi detail busana sang pengantin.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia, Mukhlis PaEni, pernah mengatakan bahwa ada kekecewaan yang teramat besar di negara Indonesia kini. Jika dahulu feodalisme dikecam, wajah Indonesia kini justru menampilkan wajah tersebut.

“Setelah menjadi satu negara, mereka menjadi kecewa, kecewa menjadi supernasionalis, kecewa menjadi seorang yang menyerahkan mentah-mentah identitas lokalnya itu kepada negara ini. Apa yang membuat mereka kecewa? Ternyata feodalisme, kebangsawanan, kebarat-baratan, bukan pada gelar, bukan pada harta, tetapi pada perangai orang per orang. Begitu dia (orang lain) menjadi pejabat di negara republik ini, dia lebih feodal,” tukas PaEni sebagaimana tertulis di LenteraTimur.com (6/6).

Cekokan kisah yang menyimpan propaganda tertentu atas nafsu kekuasaan secara diam-diam kerap menjebak kita pada lubang yang sama. Kegelisahan Amir Hamzah akan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu ternyata kini masih kita rasakan jua. Di tengah bisingnya kabar-kabar ketidakadilan yang menjadi santapan setiap hari, pembacaan kembali atas sosoknya dalam biografi ini kiranya dapat menjadi semacam “Buah Rindu” akan “Nyanyi Sunyi” sang pangeran, Tuanku Tengku Amir Hamzah.


Makam Amir Hamzah
Makam Amir Hamzah Di Komp. Pemakaman
Masjid Azizi, Tanjung Pura


















0 comments:

Post a Comment