Aeliko Janszoon Zijlker |
Penemu
sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon
Zijlker. Dia ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij,
perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Pada tahun 1880,
Aeilko Jans Zijlker, manager East Sumatera Tobbaco Companys mengunjungi
perkebunannya yang terletak di sepanjang pesisir pulau. Suatu saat ia melihat
ada sesuatu yang terang di tengah kegelapan. Sinar itu rupanya keluar dari obor
yang dipegang mandornya. Semula ia menyangka sinar itu keluar dari kayu yang
bergetah. Tetapi mandor itu mengatakan bahwa obor itu diisinya dengan lilin
yang keluar dari suatu kolam kecil. Keesokan hari Zijlker meminta diantarkan ke salah satu kolam tempat dia menemukan lilin tersebut. Kemudian la mencium
semacam bau minyak tanah yang sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun
sebelumnya di Indonesia .
Setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah
tersebut. Kemudian Zijlker
mengambil
sedikit lumpur dari kolam tersebut lalu mengirimkannya ke Batavia (Jakarta ) untuk dianalisa.
Dan Hasilnya cukup mengejutkan, Sampel yang dikirimkannya itu ternyata
mengandung 59-62% kerosin, Lantas dia menghubungi sejumlah rekannya di Belanda
untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu
dana diperoleh, Untuk mengusahakan kerosin, Zijlker kemudian meminta konsesi
dari Sultan Langkat untuk pertama kali, perizinan pun diurus. Konsesi yang
Zijlker minta adalah daerah Telaga Said di Timur Laut Sumatera, 9 km masuk ke
hutan dari Sungai Babalan yang terbuka ke Selat Malaka.
Persetujuan
konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa, pun berhasil diperoleh pada
tanggal 8 Agustus 1883. Tak membuang
waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker. Tetapi bukan
di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang belakangan disebut
sebagai sumur Telaga Tiga. Memang dari proses pengeboran di Telaga Tiga
diperoleh minyak mentah (crude oil), tetapi hasilnya tidak begitu
menggembirakan. Hingga tanggal 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung
sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas
yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan mereka untuk
mendapatkan minyak yang banyak.
Namun
Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian
mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang lain yang berada di sebelah
timur pulau sumatera. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup
luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi,
Pangkalan Brandan, sehingga mereka dapat mencari lebih banyak lagi titik
pengeboran. Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Kecamatan Sei Lepan,
Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara.
Nama ‘Said’ diambil dari nama petugas pengeboran yang hilang sewaktu melakukan
pekerjaannya membangun sumur minyak pertama. Disinilah Kilang-kilang minyak
“Sumur Minyak” Indonesia pertama sekali didirikan, Di lokasi kedua ini,
pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika
dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan
struktur tanah yang keras itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran
mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter
dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak
yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter! Jumlah itu terus bertambah hingga
pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul
semburan kuat gas dari dalam berikut minyak mentah dan material lainnya dari
perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I.
Penemuan
sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan
sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville,
negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith
dari Seneca Oil Company.
Pada
tahun 1885 pengeboran pertama berlangsung sukses. Tetapi karena teknologi yang
digunakan sudah ketinggalan dan tidak cocok dengan situasi lapangan, maka
eksplorasi itu berjalan lambat. Zijlker juga selalu kekurangan uang tunai.
Suatu saat ia mendapat sponsor yang tidak tanggung-tanggung dari Kepala Bank
Sentral Hindia Timur dan Gubernur Jenderal Belanda. Sebagai hasil dari
pemberian suntikan dana yang sangat besar, Raja Belanda, William III
menganugerahi sebutan ‘Royal’ untuk usaha yang sebenarnya masih spekulatif itu.
Pada tahun 1890 “Royal Dutch” resmi diluncurkan dengan cadangan minyak 4,5 kali
lebih besar dari pesanan yang ada.
Namun,
beberapa bulan setelah peluncuran itu, Zijlker tiba-tiba meninggal di
Singapura. Kemudian pada tahun 1885, produksi minyak Telaga Said dikendalikan
oleh pemerintah Hindia Belanda yakni ‘Royal Dutch’ dan selanjutnya pada tahun
1890 di bentuk ‘Koninklijke’ yakni semacam persekutuan untuk menjalankan usaha
tambang minyak di Sumatra Utara. Yang kemudian menunjuk pimpinan yang baru,
yaitu Jean Baptiste August Kessler atau Kessler. Kessler adalah orang yang
sebelumnya gagal dalam usaha dagangnya di Hindia Timur dan sebenarnya telah
kembali ke Negeri Belanda. Ketika ia tiba di lokasi pengeboran tahun 1891
seluruh perusahaan dalam kondisi kacau-balau. Modal yang disuntikkan hilang
begitu saja karena program yang tergesa-gesa. Walhasil, Kessler ditekan oleh
pemerintah Belanda untuk bergerak cepat dengan jadwal kerja yang cermat untuk
menyenangkan para investor. Pada tahun 1892, pengusaha Royal Dutch mulai
membangun kilang-kilang minyak di Pangkalan Brandan untuk selanjutnya menjadi
Kilang Minyak Pertama di Indonesia.
Tahun 1892, pipa sepanjang enam mil untuk menyalurkan minyak ke
pengolahan minyak Sungai Babalan selesai. Untuk menambah modal, Kessler pergi ke
negeri Belanda. Setahun kemudian ia kembali ke Telaga Said, dan menemukan
perusahaan dalam kondisi benar-benar menyedihkan. Saat itulah, ia mulai bekerja
keras membalikkan keadaan. Selepas dua tahun, Kessler berhasil meningkatkan
produksi enam kali lipat dan membuat Royal Dutch mulai meraup keuntungan.
Selanjutnya, pada tahun 1901, saluran pipa minyak yang menghubungkan Perlak
(Aceh) dan Pangkalan Brandan telah selesai dibangun. Keberhasilan Royal Dutch
ternyata memancing reaksi dari Standard Oil dan produsen-produsen minyak dari
Rusia. Standard segera melakukan negosiasi untuk mendapatkan konsesi di pulau
yang sama, Sumatera. Rencana ini kemudian mengendur, karena muncul perlawanan
dari penduduk asli. Tak henti berusaha, Standard lalu meneliti
kemungkinan-kemungkinan berproduksi di setiap penjuru dunia: di Pasifik, Cina,
dan Sakhalin (Rusia) sampai California.
Sejalan
dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa Kilang Minyak Telaga Said Pangkalan
Brandan merupakan tambang minyak pertama di Indonesia dan tambang minyak
terbesar kedua di dunia setelah di Amerika. Kilang tersebut juga sekaligus
memiliki aspek historis terhadap lahirnya Perusahaan Tambang Minyak Nasional
(Pertamina) di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan merosotnya cadangan
minyak didaerah ini, kawasan inipun semakin termarginalkan.
Kilang
Pangkalan Brandan merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di
Indonesia, delapan lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera),
Balikpapan (Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua).
Ketika dibangun oleh N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun
1891 dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan
Brandan, tidak sebesar sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih terbilang
sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Kilang yang berada di
Langkat saat ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi
berupa gas LPG (Liquid Petroleum Gas) sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105
ton per hari, dan beberapa jenis gas dan minyak.
Untuk
mendukung tambang minyak Telaga Said Pangkalan Brandan sekaligus bangkitnya
Sumatra Timur sebagai ‘Dollarland’ dan Medan sebagai kota ‘Paris van Sumatra’
maka pada tahun 1883, oleh JT Cremer, komisaris NV Deli Matschapaij dirintis
jalur Kereta Api (Deli Spoorweg Matschapaij) di Sumatra Utara yang
menghubungkan Medan-Belawan. Demikian pula Pangkalan Brandan-Belawan dan
beberapa kawasan perkebunan di Medan
Pecahnya
perang di Asia Tenggara pada tahun 1941 berdampak pada penghancuran dan
penutupan sumur minyak bumi termasuk di Pangkalan Brandan, Kemudian pada tahun
1944 tentara pendudukan Jepang berusaha membangun kembali instalasi minyak yang
hancur dan pada tahun 1945, lapangan minyak sekitar Pangkalan Brandan (ex
konsesi BPM) diserahkan pihak Jepang atas nama sekutu kepada Bangsa Indonesia
yang diberi nama PT. MRI (Perusahaan Terbatas Minyak Republik Indonesia).
sebab
minyak pertama yang diekspor Indonesia bersumber dari kilang ini. Momentum itu
terjadi pada 10 Desember 1957, yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya
PT. Pertamina,
saat
perjanjian ekspor ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo
dengan Harold Hutton yang bertindak atas nama perusahaannya Refining Associates
of Canada (Refican). Nilai kontraknya senilai US$ 30.000. Setahun setelah
penandatanganan kontrak, eskpor dilakukan menuju Jepang dengan menggunakan
kapal tanki Shozui Maru. Kapal berangkat dari Pangkalan Susu, Langkat, yang
merupakan pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. Pelabuhan ini
dibangun Belanda pada tahun 1898.
Kilang minyak
Telaga Said Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat adalah ikon penanda tambang
minyak pertama di Indonesia. Kilang itu juga menandakan eksplorasi sumberdaya
minyak bumi dan gas terbesar kedua di dunia. Kilang itu juga menandai
dibangunnya jalur kereta api Pangkalan Brandan-Belawan serta Aceh. Demikian
pula bahwa Kilang itu menjadi awal dibangunya dermaga Pangkalan Susu, dimana
kapal-kapal tanker mancanegara pernah berlabuh. Selanjutnya, kilang minyak
tersebut menyiratkan peristiwa heroik masyarakat Brandan yang dikenal dengan
‘Bumi Hangus’.
nilai
perjuangan yang ditorehkan putra bangsa melalui kilang ini. Kisah heroiknya
berkaitan dengan Agresi Militer I Belanda pada 21 Juli 1947, yakni aksi bumi
hangus kilang. Aksi bumi hangus dilaksanakan sebelum Belanda tiba di Pelabuhan
Pangkalan Susu, yakni pada 13 Agustus 1947. Maksudnya, agar Belanda tidak bisa
menguasai kilang minyak itu seperti dulu. Selanjutnya, aksi bumi hangus kedua
berlangsung menjelang Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Tower bekas
aksi bumi hangus itu masih dapat dilihat sampai sekarang dan nilai histrois yang terkandung dalam aksi
bumi hangus ini, terus diperingati sampai sekarang.
0 comments:
Post a Comment