Wednesday 15 May 2013

Minyak Pangkalan Berandan Minyak Pertama Indonesia



Aeliko Janszoon Zijlker
Aeliko Janszoon Zijlker
Penemu sumur minyak pertama ini adalah seorang warga Belanda bernama Aeliko Janszoon Zijlker. Dia ahli perkebunan tembakau pada Deli Tobacco Maatschappij, perusahaan perkebunan yang ada di daerah ini pada masa itu. Pada tahun 1880, Aeilko Jans Zijlker, manager East Sumatera Tobbaco Companys mengunjungi perkebunannya yang terletak di sepanjang pesisir pulau. Suatu saat ia melihat ada sesuatu yang terang di tengah kegelapan. Sinar itu rupanya keluar dari obor yang dipegang mandornya. Semula ia menyangka sinar itu keluar dari kayu yang bergetah. Tetapi mandor itu mengatakan bahwa obor itu diisinya dengan lilin yang keluar dari suatu kolam kecil. Keesokan hari Zijlker meminta diantarkan ke salah satu kolam tempat dia menemukan lilin tersebut. Kemudian la mencium semacam bau minyak tanah yang sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelumnya di Indonesia. Setelah Zijlker mengetahui adanya kemungkinan kandungan minyak di daerah tersebut. Kemudian Zijlker
mengambil sedikit lumpur dari kolam tersebut lalu mengirimkannya ke Batavia(Jakarta) untuk dianalisa. Dan Hasilnya cukup mengejutkan, Sampel yang dikirimkannya itu ternyata mengandung 59-62% kerosin, Lantas dia menghubungi sejumlah rekannya di Belanda untuk mengumpulkan dana guna melakukan eksplorasi minyak di Langkat. Begitu dana diperoleh, Untuk mengusahakan kerosin, Zijlker kemudian meminta konsesi dari Sultan Langkat untuk pertama kali, perizinan pun diurus. Konsesi yang Zijlker minta adalah daerah Telaga Said di Timur Laut Sumatera, 9 km masuk ke hutan dari Sungai Babalan yang terbuka ke Selat Malaka.
Persetujuan konsesi dari Sultan Langkat masa itu, Sultan Musa, pun berhasil diperoleh pada tanggal 8 Agustus 1883.  Tak membuang waktu lebih lama, eksplorasi pertama pun segera dilakukan Zijlker. Tetapi bukan di tempat sumur minyak pertama itu, melainkan di daerah yang belakangan disebut sebagai sumur Telaga Tiga. Memang dari proses pengeboran di Telaga Tiga diperoleh minyak mentah (crude oil), tetapi hasilnya tidak begitu menggembirakan. Hingga tanggal 17 November 1884, setelah pengeboran berlangsung sekitar dua bulan, minyak yang diperoleh hanya sekitar 200 liter. Semburan gas yang cukup tinggi dari sumur Telaga Tiga, membuyarkan harapan mereka untuk mendapatkan minyak yang banyak.
Namun Zijlker dan kawan-kawan tidak berhenti sampai di situ. Mereka kemudian mengalihkan kegiatannya ke daerah konsesinya yang lain yang berada di sebelah timur pulau sumatera. Untungnya memang konsesi yang diberikan Sultan Musa cukup luas, mencakup wilayah pesisir Sei Lepan, Bukit Sentang sampai ke Bukit Tinggi, Pangkalan Brandan, sehingga mereka dapat mencari lebih banyak lagi titik pengeboran. Pilihan kedua jatuh ke Desa Telaga Said. Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, sekitar 110 kilometer barat laut Medan, ibukota Sumatera Utara. Nama ‘Said’ diambil dari nama petugas pengeboran yang hilang sewaktu melakukan pekerjaannya membangun sumur minyak pertama. Disinilah Kilang-kilang minyak “Sumur Minyak” Indonesia pertama sekali didirikan, Di lokasi kedua ini, pengeboran mengalami sedikit kesulitan karena struktur tanah lebih keras jika dibandingkan dengan struktur tanah di Telaga Tiga. Usaha memupus rintangan struktur tanah yang keras itu, akhirnya membuahkan hasil. Saat pengeboran mencapai kedalaman 22 meter, berhasil diperoleh minyak sebanyak 1.710 liter dalam waktu 48 jam kerja. Saat mata bor menyentuh kedalaman 31 meter, minyak yang dihasilkan sudah mencapai 86.402 liter! Jumlah itu terus bertambah hingga pada 15 Juni 1885, ketika pengeboran mencapai kedalaman 121 meter, tiba-tiba muncul semburan kuat gas dari dalam berikut minyak mentah dan material lainnya dari perut bumi. Sumur itu kemudian dinamakan Telaga Tunggal I.
Penemuan sumur minyak pertama di Nusantara ini berjarak sekitar 26 tahun dari penemuan sumur minyak komersial pertama di dunia pada 27 Agustus 1859 di Titusville, negara bagian Pennsylvania, yang diprakarsai Edwin L. Drake dan William Smith dari Seneca Oil Company.

Pada tahun 1885 pengeboran pertama berlangsung sukses. Tetapi karena teknologi yang digunakan sudah ketinggalan dan tidak cocok dengan situasi lapangan, maka eksplorasi itu berjalan lambat. Zijlker juga selalu kekurangan uang tunai. Suatu saat ia mendapat sponsor yang tidak tanggung-tanggung dari Kepala Bank Sentral Hindia Timur dan Gubernur Jenderal Belanda. Sebagai hasil dari pemberian suntikan dana yang sangat besar, Raja Belanda, William III menganugerahi sebutan ‘Royal’ untuk usaha yang sebenarnya masih spekulatif itu. Pada tahun 1890 “Royal Dutch” resmi diluncurkan dengan cadangan minyak 4,5 kali lebih besar dari pesanan yang ada.

Namun, beberapa bulan setelah peluncuran itu, Zijlker tiba-tiba meninggal di Singapura. Kemudian pada tahun 1885, produksi minyak Telaga Said dikendalikan oleh pemerintah Hindia Belanda yakni ‘Royal Dutch’ dan selanjutnya pada tahun 1890 di bentuk ‘Koninklijke’ yakni semacam persekutuan untuk menjalankan usaha tambang minyak di Sumatra Utara. Yang kemudian menunjuk pimpinan yang baru, yaitu Jean Baptiste August Kessler atau Kessler. Kessler adalah orang yang sebelumnya gagal dalam usaha dagangnya di Hindia Timur dan sebenarnya telah kembali ke Negeri Belanda. Ketika ia tiba di lokasi pengeboran tahun 1891 seluruh perusahaan dalam kondisi kacau-balau. Modal yang disuntikkan hilang begitu saja karena program yang tergesa-gesa. Walhasil, Kessler ditekan oleh pemerintah Belanda untuk bergerak cepat dengan jadwal kerja yang cermat untuk menyenangkan para investor. Pada tahun 1892, pengusaha Royal Dutch mulai membangun kilang-kilang minyak di Pangkalan Brandan untuk selanjutnya menjadi Kilang Minyak Pertama di Indonesia.  Tahun 1892, pipa sepanjang enam mil untuk menyalurkan minyak ke pengolahan minyak Sungai Babalan selesai. Untuk menambah modal, Kessler pergi ke negeri Belanda. Setahun kemudian ia kembali ke Telaga Said, dan menemukan perusahaan dalam kondisi benar-benar menyedihkan. Saat itulah, ia mulai bekerja keras membalikkan keadaan. Selepas dua tahun, Kessler berhasil meningkatkan produksi enam kali lipat dan membuat Royal Dutch mulai meraup keuntungan. Selanjutnya, pada tahun 1901, saluran pipa minyak yang menghubungkan Perlak (Aceh) dan Pangkalan Brandan telah selesai dibangun. Keberhasilan Royal Dutch ternyata memancing reaksi dari Standard Oil dan produsen-produsen minyak dari Rusia. Standard segera melakukan negosiasi untuk mendapatkan konsesi di pulau yang sama, Sumatera. Rencana ini kemudian mengendur, karena muncul perlawanan dari penduduk asli. Tak henti berusaha, Standard lalu meneliti kemungkinan-kemungkinan berproduksi di setiap penjuru dunia: di Pasifik, Cina, dan Sakhalin (Rusia) sampai California.

Sejalan dengan uraian ini, dapat diketahui bahwa Kilang Minyak Telaga Said Pangkalan Brandan merupakan tambang minyak pertama di Indonesia dan tambang minyak terbesar kedua di dunia setelah di Amerika. Kilang tersebut juga sekaligus memiliki aspek historis terhadap lahirnya Perusahaan Tambang Minyak Nasional (Pertamina) di Indonesia. Namun demikian, sejalan dengan merosotnya cadangan minyak didaerah ini, kawasan inipun semakin termarginalkan.

Kilang Pangkalan Brandan merupakan salah satu dari sembilan kilang minyak yang ada di Indonesia, delapan lainnya adalah, Dumai, Sungai Pakning, Musi (Sumatera), Balikpapan (Kalimantan), Cilacap, Balongan, Cepu (Jawa), dan Kasim (Papua). Ketika dibangun oleh N.V. Koninklijke Nederlandsche Maatschappij pada tahun 1891 dan mulai berpoduksi sejak 1 Maret 1892, kondisi Kilang minyak Pangkalan Brandan, tidak sebesar sekarang ini. Waktu itu peralatannya masih terbilang sederhana dan kapasitas produksi juga masih kecil. Kilang yang berada di Langkat saat ini berkapasitas 5.000 barel per hari, dengan hasil produksi berupa gas LPG (Liquid Petroleum Gas) sebanyak 280 ton per hari, kondensat 105 ton per hari, dan beberapa jenis gas dan minyak.

Untuk mendukung tambang minyak Telaga Said Pangkalan Brandan sekaligus bangkitnya Sumatra Timur sebagai ‘Dollarland’ dan Medan sebagai kota ‘Paris van Sumatra’ maka pada tahun 1883, oleh JT Cremer, komisaris NV Deli Matschapaij dirintis jalur Kereta Api (Deli Spoorweg Matschapaij) di Sumatra Utara yang menghubungkan Medan-Belawan. Demikian pula Pangkalan Brandan-Belawan dan beberapa kawasan perkebunan di Medan

Pecahnya perang di Asia Tenggara pada tahun 1941 berdampak pada penghancuran dan penutupan sumur minyak bumi termasuk di Pangkalan Brandan, Kemudian pada tahun 1944 tentara pendudukan Jepang berusaha membangun kembali instalasi minyak yang hancur dan pada tahun 1945, lapangan minyak sekitar Pangkalan Brandan (ex konsesi BPM) diserahkan pihak Jepang atas nama sekutu kepada Bangsa Indonesia yang diberi nama PT. MRI (Perusahaan Terbatas Minyak Republik Indonesia).

sebab minyak pertama yang diekspor Indonesia bersumber dari kilang ini. Momentum itu terjadi pada 10 Desember 1957, yang kemudian diperingati sebagai hari lahirnya PT. Pertamina,

saat perjanjian ekspor ditandatangani oleh Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo dengan Harold Hutton yang bertindak atas nama perusahaannya Refining Associates of Canada (Refican). Nilai kontraknya senilai US$ 30.000. Setahun setelah penandatanganan kontrak, eskpor dilakukan menuju Jepang dengan menggunakan kapal tanki Shozui Maru. Kapal berangkat dari Pangkalan Susu, Langkat, yang merupakan pelabuhan pengekspor minyak tertua di Indonesia. Pelabuhan ini dibangun Belanda pada tahun 1898.

Kilang minyak Telaga Said Pangkalan Brandan Kabupaten Langkat adalah ikon penanda tambang minyak pertama di Indonesia. Kilang itu juga menandakan eksplorasi sumberdaya minyak bumi dan gas terbesar kedua di dunia. Kilang itu juga menandai dibangunnya jalur kereta api Pangkalan Brandan-Belawan serta Aceh. Demikian pula bahwa Kilang itu menjadi awal dibangunya dermaga Pangkalan Susu, dimana kapal-kapal tanker mancanegara pernah berlabuh. Selanjutnya, kilang minyak tersebut menyiratkan peristiwa heroik masyarakat Brandan yang dikenal dengan ‘Bumi Hangus’.

nilai perjuangan yang ditorehkan putra bangsa melalui kilang ini. Kisah heroiknya berkaitan dengan Agresi Militer I Belanda pada 21 Juli 1947, yakni aksi bumi hangus kilang. Aksi bumi hangus dilaksanakan sebelum Belanda tiba di Pelabuhan Pangkalan Susu, yakni pada 13 Agustus 1947. Maksudnya, agar Belanda tidak bisa menguasai kilang minyak itu seperti dulu. Selanjutnya, aksi bumi hangus kedua berlangsung menjelang Agresi Militer II Belanda pada 19 Desember 1948. Tower bekas aksi bumi hangus itu masih dapat dilihat sampai sekarang dan  nilai histrois yang terkandung dalam aksi bumi hangus ini, terus diperingati sampai sekarang.

0 comments:

Post a Comment